Ini Penjelasan Lengkap ‘Greenflation’ Yang Banyak Diperbincangkan Setelah Debat Cawapres

Ini Penjelasan Lengkap ‘Greenflation’ Yang Banyak Diperbincangkan Setelah Debat Cawapres

Wed, 24 Jan 2024Posted by Admin

Telisa Aulia Falianty, Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), memberikan penjelasan mendalam mengenai fenomena yang disebut sebagai greenflation. Istilah ini pertama kali diangkat oleh calon wakil presiden nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat Cawapres yang diadakan oleh KPU pada 21 Januari 2024 di Jakarta Convention Center, Senayan.

Falianty mencatat bahwa dia sebelumnya telah membahas konsep greenflation dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UI pada September 2023. Greenflation, menurutnya, merujuk pada kenaikan harga barang dan jasa atau inflasi sebagai hasil dari transisi ekonomi menuju ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan, seperti ekonomi net-zero.

Meskipun demikian, Falianty menegaskan bahwa tidak semua kenaikan harga dapat diatributkan kepada greenflation. Sebagai contoh, inflasi tahunan sebesar 5,3% di Uni Eropa pada Desember 2021 tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh greenflation karena ada faktor lain yang turut berkontribusi pada kenaikan harga.

Greenflation, menurut Falianty, tercermin dalam kenaikan harga beberapa komoditas, terutama logam yang diperlukan untuk transisi ke energi terbarukan. Permintaan yang tinggi dan pasokan yang kurang memadai karena investasi yang rendah di sektor pertambangan, terutama selama pandemi Covid-19, merupakan salah satu penyebabnya. Negara seperti China, yang memasok hampir 60% alumunium dunia, membatasi produksi baru dalam konteks kampanye netralitas karbonnya.

Falianty menyoroti pula penurunan produktivitas dalam pertanian ramah lingkungan yang dapat menyebabkan kenaikan harga bahan pertanian. Greenflation, menurutnya, erat kaitannya dengan kenaikan harga energi, meskipun laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) pada 2019 menyebutkan bahwa energi terbarukan sekarang dapat lebih ekonomis dibandingkan dengan energi fosil, terutama untuk pembangkit listrik tenaga angin dan fotovoltaik surya di darat.

Dalam pandangan Falianty, greenflation pada akhirnya dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak lingkungan. Integrasi antara eksternalitas negatif terhadap harga barang dan jasa, melalui pajak lingkungan, dianggap dapat memengaruhi perilaku konsumen untuk lebih berkelanjutan. Falianty menganggap hal ini sebagai terobosan nyata dalam transisi ekologis, sejalan dengan laporan The Council on Business & Society pada 2022.

Falianty menekankan bahwa transisi ke keadaan baru yang berkelanjutan tidak akan berjalan tanpa biaya. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dukungan fiskal diperlukan untuk melindungi masyarakat yang lebih rentan terhadap potensi dampak greenflation.

Dalam pandangan Falianty, greenflation pada akhirnya dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak lingkungan. Integrasi antara eksternalitas negatif terhadap harga barang dan jasa, melalui pajak lingkungan, dianggap dapat memengaruhi perilaku konsumen untuk lebih berkelanjutan. Falianty menganggap hal ini sebagai terobosan nyata dalam transisi ekologis, sejalan dengan laporan The Council on Business & Society pada 2022.

Falianty menekankan bahwa transisi ke keadaan baru yang berkelanjutan tidak akan berjalan tanpa biaya. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dukungan fiskal diperlukan untuk melindungi masyarakat yang lebih rentan terhadap potensi dampak greenflation.

Falianty menyoroti pula penurunan produktivitas dalam pertanian ramah lingkungan yang dapat menyebabkan kenaikan harga bahan pertanian. Greenflation, menurutnya, erat kaitannya dengan kenaikan harga energi, meskipun laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) pada 2019 menyebutkan bahwa energi terbarukan sekarang dapat lebih ekonomis dibandingkan dengan energi fosil, terutama untuk pembangkit listrik tenaga angin dan fotovoltaik surya di darat.

Dalam pandangan Falianty, greenflation pada akhirnya dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak lingkungan. Integrasi antara eksternalitas negatif terhadap harga barang dan jasa, melalui pajak lingkungan, dianggap dapat memengaruhi perilaku konsumen untuk lebih berkelanjutan. Falianty menganggap hal ini sebagai terobosan nyata dalam transisi ekologis, sejalan dengan laporan The Council on Business & Society pada 2022.

Falianty menekankan bahwa transisi ke keadaan baru yang berkelanjutan tidak akan berjalan tanpa biaya. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dukungan fiskal diperlukan untuk melindungi masyarakat yang lebih rentan terhadap potensi dampak greenflation.