Kisah Hidup Di Perbatasan
Mon, 15 Apr 2019Posted by AdminIndonesia adalah negara yang luas. Namun, seringkali karena luasnya Indonesia, kesejahteraan tidak rata tersebar. Sehingga, banyak saudara-saudara kita di pebatasan yang terbatas aksesnya, mulai dari pendidikan, kesehatan hingga infrastruktur. Salah satu program TRANS7 yang selalu berusaha untuk menguak fakta-fakta mengenai permasalahan Indonesia ini adalah program Indonesiaku. Pada episode 15 April 2019, Tim Indonesiaku TRANS7 berusaha untuk menginvestigasi kehidupan masyarakat di daerah pebatasan Indonesia dengan Malaysia, Pulau Sebatik.
Pulau Sebatik terletak di sebelah Timur Laut Pulau Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Pulau ini terbagi menjadi dua dengan bagian utaranya termasuk ke dalam wilayah Sabah, Malaysia dan selatannya adalah wilayah Indonesia. Setelah Tim TRANS7 tiba disana, ditemukan bahwa banyak warga Indonesia yang memilih untuk bekerja di Sabah sebagai buruh kelapa sawit. Alasannya adalah karena tidak adanya lapangan pekerjaan di tanah kelahiran mereka.
Mereka tinggal dalam satu tempat bernama Camp Bernyoko Estate, dimana segala kebutuhan mereka dipenuhi oleh pengelola estate dan dibayar setelah mereka menerima gaji. Walaupun setelah dikurangi hutang, gaji mereka terbilang cukup untuk hidup dan bahkan mereka menyukai hidup di negeri tetangga ini. Kehidupan masyarakat Indonesia di camp yang berada di Malaysia ini pun telah berjalan selama dua generasi. Anak-anak yang hidup di camp ini pun banyak yang tidak memiliki akte kelahiran dan bahkan pernikahan orang tuanya pun banyak yang tidak memiliki surat dari negara.
Akses sekolah bagi masyarakat ini pun sulit. Hanya ada satu sekolah yang dapat mereka tuju dan letaknya di perbatasan Indonesia. Biasanya, anak-anak yang bersekolah ini berangkat di hari Minggu dan menginap selama 6 hari di sekolah yang dilengkapi dengan asrama ini. Kebetulan, Tim TRANS7 datang ke Sebatik di hari Minggu dan kemudian berkesempatan untuk ikut anak-anak berangkat ke Sekolah Tapal Batas di Desa Sungai Limau.
Anak-anak ini bersekolah lintas negara. Perjalanan mereka menuju sekolah harus dilakukan dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam. Medannya pun tidak mudah.
Perkebunan sawit dan bukit-bukit harus mereka lalui tanpa pernah diantar oleh orang tua. Mereka pun harus hati-hati terhadap pihak keamanan Malaysia yang sering melakukan razia terhadap pendatang gelap.
Sesampainya anak-anak dan Tim TRANS7 di Sekolah Tapal Batas, mereka langsung menuju asramanya masing-masing untuk beristirahat untuk melepas lelah. Sekolah ini dirintis oleh Ibu Suraidah dan memiliki 5 tenaga pengajar yang terdiri dari 3 orang anggota TNI yang bertugas di Sebatik dan 1 relawan. Ibu Suraidah dulunya adalah dosen di Makassar yang telah menempuh studi sampai jenjang S3 di Thailand. Ia tidak dapat tinggal diam melihat anak-anak di wilayah ini terlantar tanpa pendidikan, karenanya ia pun memutuskan untuk berhenti menjadi dosen dan mengajar anak-anak di sini.
Memiliki latar belakang sebagai ahli gizi, Ibu Suraidah sangat memperhatikan kebersihan dan gizi anak-anak didiknya. Kepada Tim TRANS7 ia menceritakan bahwa akses air di wilayah ini sangatlah sulit, bahkan ketika musim kemarau seperti saat ini. Karena itu, kesadaran akan kebersihan bagi anak-anak pun amat kurang. Ibu Suraidah mencoba untuk membiasakan hal tersebut dengan melakukan pemeriksaan kuku, menyikat gigi dan memeriksa kesehatan anak-anak secara teratur. Olahraga senam dan membagikan kacang hijau pun secara rutin dilakukan untuk menjaga kesehatan anak-anak di sekolah. Bahkan, ada kegiatan ekstrakulikuler berupa seni bela diri karate yang diajarkan oleh teman-teman pengajar dari TNI di sekolah ini.
Ibu Suraidah kepada Tim TRANS7 berharap agar kendala seperti air dan infrastruktur seperti akses jalan, listrik dan alat untuk mengajar dapat terpenuhi. Baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Perhatian yang kecilpun amat berarti bagi Ibu Suraidah, tim pengajar dan anak-anak didik lainnya. Saksikan Indonesiaku yang tayang setiap hari Senin pukul 14.15 WIB.