Kemenkes: Indonesia Masih Kekurangan Dokter Spesialis. Butuh 10 Tahun Lagi!
Mon, 03 Apr 2023Posted by AdminBerdasarkan standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai rasio dokter, jumlah tenaga dokter spesialis di Indonesia masih jauh tertinggal yakni 0,28 per seribu penduduk.
Standar WHO yaitu bisa dikatakan "Golden Line" apabila memenuhi 1 banding 1000 yakni "garis emas" rasio jumlah dokter, terdiri dari dokter umum dan spesialis 1 dokter per 1000 penduduk.
Indonesia kekurangan 30 ribu dokter spesialis, sementara untuk memenuhi kebutuhan tersebut membutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun.
Indonesia darurat dokter spesialis dikarenakan dari 92 fakultas kedokteran (FK) di Indonesia, hanya 21 di antaranya yang mampu memproduksi dokter spesialis. Selama setahun produksi dokter tidak lebih dari 2.700. Jika dirinci secara wilayah, hanya Jakarta yang menjadi satu-satunya daerah dengan jumlah dokter spesialis memadai di setiap Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
"Kalau kita lihat per provinsi kita bisa melihat 40 persen RSUD belum lengkap dokter spesialis dasar, kita belum bicara dokter spesialis lain, kita baru bicara spesialis obgyn, spesialis anak, spesialis anestesi, bedah radiologi kemudian patologi klinik, ini bisa kita lihat Jawa Timur saja kita masih kekurangan 488 dokter spesialis," beber Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI drg Arianti Anaya, MKM dalam Public Hearing Kemenkes RI, Rabu (29/3/2023).
"Ini belum di-breakdown berdasarkan dokter spesialis, jadi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, semuanya masih kekurangan dokter spesialis, kecuali Jakarta," sebutnya.
Berikut rasio masing-masing dokter spesialis di Indonesia berdasarkan standar ideal WHO satu per seribu penduduk.
- Spesialis jantung 0,01 per seribu penduduk (paling minim di Papua, Maluku Utara, Sulawesi Barat).
- Spesialis anak 0,024 per seribu penduduk (paling minim di Lampung, Sulbar, NTT).
- Spesialis penyakit dalam 0,03 per seribu penduduk (paling minim Maluku, NTB, NTT).
- Spesialis Obgyn 0,02 per seribu penduduk (paling minim di NTT, NTB Sulbar).
- Spesialis bedah 0,02 per seribu penduduk (paling minim di NTB, Sultra, NTT).
- Spesialis anestesi 0,01 per seribu penduduk (paling minim di NTB NTT Sulbar).
- Spesialis patologi klinik 0,01 per seribu penduduk (paling minim di Sulbar, Kalbar, Sumsel).
- Spesialis radiologi 0,02 per seribu penduduk (paling minim di Maluku Utara, NTB, Maluku).
- Spesialis patologi anatomi 0,01 per seribu penduduk (paling minim di Papua, Sultra, Sulbar).
- Spesialis BTKV 0,002 per seribu penduduk (paling minim di Sulbar, Sulteng, Sultra).
- Spesialis paru 0,0013 per seribu penduduk (paling minim di NTT, Sulbar, Papua Barat).
- Spesialis urologi 0,0037 per seribu penduduk (paling minim di Maluku Utara, Papua Barat, Sulbar).
- Spesialis saraf 0,01 per seribu penduduk (paling minim di Papua, Sulbar, NTT).
- Spesialis bedah saraf 0,0022 per seribu penduduk (paling minim di Maluku Utara, Papua Barat, Sulbar).
- Spesialis Ortopedi dan Traumatologi 0,01 per seribu penduduk (paling minim di Papua, Sulbar, NTT).
Kedepannya, demi mengejar pemenuhan dokter spesialis di Indonesia dalam dua hingga tiga tahun ke depan, pemerintah mengusung program collegium based atau hospital based. Dokter langsung bekerja di RS yang sedikitnya tersedia sebanyak 3.100 di berbagai wilayah Indonesia.
Dokter-dokter baru akan ditempatkan di pelosok atau wilayah terpencil menjadi ASN dengan target pengabdian berpraktik selama beberapa tahun dalam proses perjanjian awal bersama Kemenkes RI.
Menurut dr Arianti, ini menjadi langkah efektif ketimbang menunggu produksi dokter spesialis hanya dari 21 FK.
"Kalau ini kita bisa membuat tempat untuk khususnya kebutuhan di mana spesialis ini dibutuhkan tentu akan lebih baik lagi dan lebih cepat lah mereka akan bisa mendapatkan dokter spesialis," bebernya.
"Pelaksanaan bekerja dengan RS pendidikan yang ada kolegium dan perguruan tinggi, jadi dalam hal ini kita tetap bekerja sama karena kita tetap akan melakukan penjaminan mutu, kita akan memastikan pelaksanaannya akan tetap sesuai standar, karena tidak kita harapkan adanya double standar di Indonesia," sambung dia.
"Jadi pada saat mereka direkrut oleh Kemenkes RI, maka kita akan melakukan perjanjian dan dia tahu bahwa sebelum tanda tangan, dia akan ditempatkan di mana, dia tahu bahwa dia akan ditempatkan di mana, dokter anak misalnya dia tahu bakal ditetapkan di NTB," imbuhnya lagi.