Ki Hadjar Dewantara, Maestro Pendidikan Di Indonesia

Ki Hadjar Dewantara, Maestro Pendidikan Di Indonesia

Tue, 24 Nov 2020Posted by Admin

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang kita kenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara adalah sosok yang paling berperan dalam kemajuan pendidikan di Indonesia, maka dari itu sosok ini juga sangat erat dengan julukannya sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Pahlawan nasional satu ini lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Saking hebatnya beliau, tanggal kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.

Semasa muda ia menjalani pekerjaan sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, tidak hanya itu, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo dan Insulinde. Dalam perjalanan karirnya sebagai penulis, Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan tulisannya yang paling terkenal saat itu adalah, "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga." Namun, kolom Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah "Als ik een Nederlander was" diterjemahkan menjadi, "Seandainya Aku Seorang Belanda."

Ada tiga semboyan Ki Hajar Dewantara yang terkenal, yakni Ing Ngarso Sung Tulodho yang artinya di depan memberikan contoh. Ing Madya Mangun Karso, yang artinya di tengah memberikan semangat. Tut Wuri Handayani, yang artinya di belakang memberikan dorongan.

Dedikasinya dalam bidang pendidikan dibuktikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa, pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik, agar mereka mencintai bangsa dan tanah airnya, serta berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Untuk di bidang pers, majalah atau surat kabar merupakan sarana yang sangat penting bagi suatu lembaga untuk menyebarkan cita-citanya kepada masyarakat. Oleh karena itu, beliau menerbitkan brosur dan majalah "Wasita" (tahun 1928-1931), selanjutnya menerbitkan majalah "Pusara" (1931). Di samping kedua majalah tersebut, Ki Hadjar Dewantara juga menerbitkan Majalah "Keluarga" dan "Keluarga Putera" (1936).

Sedangkan pada bidang kesenian, Ki Hadjar Dewantara juga mengarang buku metode nyanyian daerah Jawa "Sari Swara", diterbitkan tahun 1930 oleh JB. Wolters. Sebelumnya,  pada tahun 1926, ia juga pernah menciptakan lagu/gendhing Asmaradana "Wasita Rini" diperuntukan bagi para anggota Wanita Tamansiswa.

Semasa ia berkarir dan juga sebagai aktivis pergerakan yang berurusan dengan masalah politik, ia pernah diasingkan ke Pulau Bangka. Selama masa pengasingannya, Ki Hadjar Dewantara aktif bersosialisai di organisasi pelajar asal Indonesia, yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Kemudian, pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau, atau kantor berita Indonesia. Di kantor inilah ia mulai merintis cita-citanya untuk memajukan pendidikan masyarakat Indonesia.

Ia pun berhasil mendapatkan sebuah ijazah pendidikan bergengsi di Belanda, yang dikenal dengan nama Europeesche Akta. Berkat ijazah tersebut, ia dapat mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.

Pada usianya yang ke-40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara dan tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal tersebut bertujuan agar ia dapat secara bebas dekat dengan rakyatnya.

Pada akhirnya ia meninggal di Yogyakarta pada 26 April 1959 dalam usianya yang menginjak 69 tahun. Semasa hidupnya, ia mendedikasikan diri untuk membangun dan membawa perubahan bagi pendidikan di Indonesia. Salah satu contoh dedikasinya ialah mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, yakni sebagai wadah bagi orang pribumi agar bisa menempuh pendidikan pada saat itu.