Berdampak Pada Ekonomi, Lockdown Tak Lagi Disarankan WHO!
Mon, 12 Oct 2020Posted by AdminSebelumnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghimbau pada pemimpin negara agar berhati-hati jika ingin melonggarkan pembatasan-pembatasan, namun kini WHO justru memperingatkan agar tidak mengandalkan lockdown untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Utusan Khusus (Special Envoy) WHO, Dr David Nabarro mengatakan bahwa tindakan pembatasan tersebut hanya boleh diperlakukan sebagai upaya terakhir.
“Kami di WHO tidak mengadvokasi lockdown sebagai cara utama mengendalikan virus ini. Satu-satunya kesempatan yang kami yakini lockdown dibenarkan adalah untuk memberi Anda waktu mereorganisasi, menata kembali, menyeimbangkan kembali sumber daya, melindungi tenaga kesehatan yang kelelahan, tapi pada umumnya kami memilih tidak melakukannya," ujar Nabarro, dikutip dari Nypost, pada Senin (12/10/2020).
Hal ini jelas berbeda dengan seruan yang sebelumnya diutarakan oleh WHO. Sebelumnya WHO memperingatkan agar negara-negara tidak mencabut penguncian (lockdown) dengan cepat, terutama selama menghadapi gelombang pertama virus.
Nabarro mengatakan bahwa pembatasan yang ketat menyebabkan kerugian signifikan, khususnya terhadap ekonomi global. Ia juga menambahkan bahwa lockdown telah berdampak parah pada negara-negara yang mengandalkan pariwisata, seperti pariwisata di Karibia yang kelabakan.
"Lockdown hanya memiliki satu konsekuensi yang tidak boleh Anda remehkan, dan itu membuat orang miskin menjadi semakin miskin," lanjut Nabarro.
Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mendesak negara-negara untuk mendukung langkah-langkah lain, termasuk pengujian luas dan pelacakan kontak, sehingga mereka dapat membuka kembali dengan aman dan menghindari lockdown di masa depan.
"Kita perlu mencapai situasi yang berkelanjutan di mana kita memiliki kendali yang memadai terhadap virus ini tanpa mematikan hidup kita sepenuhnya, atau beralih dari lockdown ke lockdown lain yang sangat merugikan bagi masyarakat," ujar Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus yang ditulis dalam NYPost.