Menjadi Kontroversi Dan Banyak Ditentang, Ini Penjelasan DPR Soal UU Cipta Kerja

Menjadi Kontroversi Dan Banyak Ditentang, Ini Penjelasan DPR Soal UU Cipta Kerja

Fri, 09 Oct 2020Posted by Admin

Demonstrasi akibat disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja terus terjadi. Sejumlah pihak menilai pengesahan UU ini terlalu terburu-buru dan merugikan masyarakat di berbagai alasan. Narasi yang berkembang mengenai hal ini pun terbilang simpang siur. Menjawab keresahan masyarakat, berikut klarifikasi DPR perihal UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca juga: Gelombang Demo Menolak Omnibus Law

Penghapusan Upah Minimum

Menurut DPR, hal ini tidaklah benar. Setelah pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja, Upah Minimum Provinsi (UMP) ditetapkan oleh gubernur. Sedangkan, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tetap ada. Untuk Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) selanjutnya akan ditetapkan oleh daerah masing-masing. Jika pekerja menerima UMSK yang lebih tinggi dari UMK, maka tidak boleh diturunkan.

Perihal upah minimum tertulis dalam Pasal 88C yang berisi dimana gubernur wajib menetapkan UMP. Gubernur dapat menetapkan UMK dengan syarat tertentu, seperti adanya pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi di daerah tersebut. Selanjutnya, UMK harus lebih tinggi dari UMP.

Penghapusan Uang Pesangon

Hal ini tidaklah benar. Adapun terkait pengurangan pesangon dari 32 kali ke 25 kali, DPR menyebutkan bahwa pemerintah akan memastikan jika pesangon betul-betul menjadi hak dan diterima oleh pekerja. UU Omnibus Law Cipta Kerja pula tertulis skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan jaminan sosial lain seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun.

Perihal uang pesangon tertulis dalam Pasal 156 yang berisi dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Penghapusan Hak Cuti, Hak Upah Cuti dan Waktu Istirahat

Terkait hal ini, DPR memastikan pekerja tetap akan mendapakan waktu istirahat dan cuti. UU Omnibus Law Cipta Kerja pula tidak menghilangkan cuti haid dan hamil yang telah diatur oleh UU Ketenagakerjaan. Istirahat diantara jam kerja pun diperbolehkan, dimana untuk setiap 4 jam kerja, istirahat setengah jam.

Cuti dituliskan dalam Pasal 79 yang berisi bahwa pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti. Cuti yang dimaksudkan adalah cuti tahunan (sedikitnya 12 hari kerja) yang kemudian akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja Bersama.

Outsourcing Menjadi Kontrak Seumur Hidup

DPR menyatakan, ketentuan ini hanya diberlakukan kepada pekerjaan yang tidak tetap. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tetap akan memberikan perlindungan pekerja hingga kontrak selesai dan kompensasi uangnya pun tetap akan diterima sesuai masa kerja dan kerjasama kerja. UU Omnibus Law Cipta Kerja tetap mengatur hubungan kerja alih daya namun lingkup pekerjaannya tidak dibatasi.

Terkait hal ini, UU Omnibus Law Cipta Kerja menjelaskan pada Pasal 66 terkait hubunan kerja. Selanjutnya, status pekerja alih daya ditentukan dalam perjanjian kerjanya dengan perusahaan. Lalu di Pasal 56 tertulis ketentuan perjanjian kerja berdasarkan waktu yang telah disepakati. Sehingga, adanya rumor tidak aka nada status karyawan tetap, salah.