Viral Aisha Weddings, Bahaya Menikah Di Usia Belasan
Thu, 11 Feb 2021Posted by AdminUnggahan jasa penyelenggara pernikahan Aisha Weddings untuk menikah di usia yang sangat muda 12-21 tahun sedang viral saat ini.
"Semua wanita muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih," tulis Aisha Weddings dalam situsnya.
Namun, pemerintah telah menetapkan usia minimal menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-undang pada 2019 lalu.
Untuk menuju ke jenjang pernikahan usia jelas jadi satu pertimbangan bagi pasangan yang akan menikah. Apa baik buruknya menikah di usia anak?
Para psikolog kerap mengungkapkan berbagai bahaya dan dampak buruk menikah di usia dini, baik secara biologis maupun psikologis.
1. Dampak buruk pernikahan anak secara psikologis
Tidak sedikit kerugian yang diderita ketika remaja melakukan pernikahan dini, antara lain adalah keadaan psikologis, emosi dan psikososial remaja yang masih belum matang, sehingga rapuh dalam menjalankan kehidupan rumah tangga dan akhirnya rentan terhadap perceraian.
Di sisi lain, perceraian sendiri bisa jadi beban emosional yang dapat menimbulkan gangguan psikis, seperti stres dan depresi.
Menurut psikolog Livia Iskandar, pernikahan anak sebenarnya memberi kerugian lebih banyak di sisi perempuan.
Menurut Livia, anak juga belum matang secara psikologis. Ia memberi contoh saat anak memiliki anak, sulit dibayangkan pasangan remaja saat menjadi orang tua dan mengasuh serta mendidik anak. Perempuan juga jadi lebih rentan depresi pasca melahirkan.
Pernikahan anak juga membuat pendidikan terganggu bahkan terputus. Livia juga meragukan anak akan melanjutkan sekolah setelah menikah. Saat ia hamil, kemungkinan sulit bagi sekolah untuk menerima siswi yang sedang bertubuh dua. Pendidikan wanita yang rendah ini tentunya akan berpengaruh pada pendidikan ke anak.
Putus sekolah juga akan berisiko membatasi kemampuan belajar dan memperburuk kemiskinan lintas generasi.
Lebih lanjut, diungkapkan Tika, matang dan dewasa dari aspek kognitif, kepribadian, psikososial, kemandirian, ekonomi, keamanan, perencanaan berkesinambungan dan terpenting adalah pedagogis - kesiapan untuk belajar menjadi orang tua.
Secara psikologis, remaja punya kondisi sosio-emosional, kepribadian, dan kognitif mereka masih seperti masa anak namun terus berkembang sesuai lingkungannya. Oleh karena itu, masa remaja ini juga sering disebut masa pencarian jati diri.
Pada masa ini, mereka akan sangat sibuk mencari tahu tentang diri mereka dan dunianya. Dan karena rasa ingin tahu yang sangat besar ini, mereka membutuhkan bantuan dari orang tua dan lingkungan untuk mengontrol dan menyaring pengetahuan yang baik untuk mereka.
"Tidak hanya itu, besarnya konflik dalam membangun rumah tangga akan menambah parahnya keadaan dan menimbulkan kekecewaan bahkan penyesalan, karena mereka merasa terenggut masa muda mereka yang seharusnya dapat lebih produktif dan berkembang lebih optimal."