Fenomena Furry, Saat Manusia Berkeinginan Menjadi Binatang
Wed, 09 Aug 2023Posted by AdminSeorang pria asal Jepang yang dikenal dengan nama Toco telah mengeluarkan dana sebesar 2 juta yen atau setara dengan sekitar Rp 213 juta untuk mengubah dirinya menjadi mirip seekor anjing.
Toco mengenakan kostum anjing jenis collie dan mengadopsi perilaku serta interaksi yang khas bagi anjing. Dalam kostum anjing berukuran besar tersebut, ia bermain di halaman, berguling-guling, bermain lempar tangkap bersama manusia, bahkan bermain bersama anjing asli. Motivasi di balik tindakan ini berasal dari impian Toco sejak kecil, di mana ia ingin menjadi anjing dan menjalani kehidupan seperti hewan tersebut.
Fenomena ini terkait dengan istilah "furry", yang merupakan fenomena di mana individu merasa tertarik dan memiliki kedekatan emosional dengan hewan antropomorfik, yaitu hewan yang memiliki ciri-ciri seperti manusia. Individu yang terlibat dalam fenomena furry akan menciptakan karakter binatang sebagai representasi diri mereka dalam komunitas.
Representasi ini disebut "furpersona" dan dapat diambil dari berbagai jenis binatang, seperti anjing, kucing, reptil, burung, hewan buas, atau bahkan makhluk mitos. Para pelaku furry mengekspresikan identitas fursona mereka melalui seni, tulisan, identitas online, dan bahkan kostum yang disebut fursuit. Fursuit adalah kostum yang rumit yang menggambarkan karakter hewan pilihan mereka, termasuk telinga, ekor, dan tangan berbentuk binatang.
Terdapat pengaruh orientasi seksual dalam fenomena furry ini. Penelitian oleh Kevin J Hsu dan J Michael Bailey menunjukkan bahwa beberapa individu terlibat dalam furry karena kaitannya dengan orientasi seksual mereka.
Menurut Perpustakaan Obat Nasional AS (NLM), beberapa pelaku furry menghubungkan hobinya dengan aspek seksual, di mana mereka memiliki fantasi mengubah diri menjadi karakter hewan yang dianggap menarik secara seksual.
Ada ketertarikan dan gairah seksual yang terjadi saat mereka membayangkan menjadi hewan. Ini sering kali mempengaruhi penampilan dan perilaku mereka untuk lebih mengadopsi sifat hewan tersebut.
Namun, tidak selalu ada konotasi negatif dalam fenomena ini. Sharon Roberts, seorang profesor studi pembangunan sosial di University of Waterloo di Ontario, Kanada, yang juga merupakan anggota pendiri Proyek Penelitian Antropomorfik Internasional (IARP), menyatakan bahwa komunitas furry adalah tempat yang aman, ramah, dan tidak menghakimi.
Menurut Roberts, penelitian menunjukkan bahwa fenomena furry mampu menciptakan lingkungan positif yang memberikan manfaat. "Fursona merupakan bentuk representasi diri seperti avatar yang diciptakan oleh komunitas furry. Identitas ini sering kali menggambarkan atribut positif dan menjadi versi ideal dari diri mereka," ungkap Roberts, seperti yang dikutip dari ABC News. Roberts juga menegaskan bahwa identitas yang diciptakan dalam konteks fenomena furry membantu meningkatkan rasa percaya diri para pelakunya.